Senin, 25 Januari 2016

He Chose the Nails (Max Lucado)


Cover "He Chose the Nails"

Judul: He Chose the Nails
Pengarang: Max Lucado
Penerbit: Gospel Press
Tahun Terbit: 2002
Halaman: 232 halaman

Max Lucado adalah tipikal penulis buku yang cerdas. Di bagian awal tulisannya, ia memasukkan ilustrasi terkait poin yang hendak dibahasnya. Ilustrasinya menarik, pada umumnya menceritakan dirinya, keluarganya, atau lingkup aktivitasnya di berbagai tempat. Awal mula saya menyukai buku rohani adalah sejak saya memiliki beberapa bukunya. Yang pernah saya baca adalah "Temukan sweet spot anda!" . Niat saya membaca buku itu untuk mendapat pencerahan untuk pergumulan panggilan hidup. Namun, ada satu bagian di dalam buku itu yang tanpa saya duga malah membawa saya pada keindahan perumpamaan kisah di Perjanjian Lama, yaitu tentang pohon-pohon yang sedang mencari raja pohon atas diri mereka. Really interesting! Sempat lama saya gumulkan apa makna dari kisah itu, tapi Max sendiri punya analisisnya untuk perumpamaan tersebut. Bagian lengkapnya dari "Temukan sweet spot anda!" ini mungkin di kesempatan lain akan saya sharingkan karena pada dasarnya semua orang punya pergumulan terkait panggilan hidupnya. I really hope that the existence of this book reminds us to have right value and correct perspective. 

He Chose the Nails, diterjemahkan ke judul bahasa Indonesianya sebagai Ia Berkorban untuk Kita, terdiri dari 15 bab. Dalam masing-masing bab itu, diulas seluruh elemen terkait kesengsaraan Yesus, terutama di hari penyaliban Tuhan Yesus hingga ke kebangkitan-Nya. Melalui ludah para prajurit, mahkota duri, paku-paku, tulisan di atas kayu salib, kedua salib di kiri dan kanan salib Yesus, jalan setapak, jubah-Nya, daging yang tercabik-cabik, bunga karang yang direndam dalam anggur, darah dan air, kayu salib-Nya sendiri, baju pemakaman, hingga makam-Nya yang kosong, Max memaparkan betapa besar dan agung-Nya kasih Anak Allah yang lahir sebagai manusia, menghadapi pergumulan-pergumulan manusia, dan menanggung dosa umat manusia sekalipun Ia tidak berdosa! 

Poin yang menarik di dalam bab yang berjudul "Janji Allah dalam Paku-paku" adalah tangan Tuhan Yesus menerima dengan rela paku-paku yang ditancapkan pada telapak-Nya, dan kaki-Nya pun tidak melawan pada saat Ia dipaku di kayu salib-Nya. Padahal tangan itu adalah tangan yang mahakuasa. Kita tahu bahwa tangan itulah yang membentuk Adam dari debu tanah dan mengukir kebenaran pada loh batu. Dengan satu lambaian, tangan ini menjatuhkan menara Babel dan membelah Laut Merah. Dari tangan ini beterbangan belalang yang menjadi wabah di Mesir dan burung gagak yang membawa pangan ke Elia. Tetapi tinju itu tidak dikepal...dan saat itu tidak dibatalkan. Sebesar jangkauan kedua tangan-Nya yang terpaku dan membentang pada kayu salib, Tuhan Yesus menunjukkan kasih-Nya yang berusaha merangkul kita untuk menerima anugerah penebusan-Nya.

Apa Yesus tidak bisa menghentikannya? Dengan menegangkan otot-Nya, dengan mengepal tinju-Nya, ia bisa melawan. Bukankah ini tangan yang sama yang meredakan badai di laut? Membersihkan Bait Allah? Membangkitkan orang mati? (Max Lucado)


Satu bab lainnya yang juga favorit saya, berjudul "Janji Allah dalam Darah dan Air" mengingatkan bahwa pekerjaan Allah (pengudusan-Nya) berlangsung di dalam manusia secara posisional dan progresif. Allah memulainya untuk kita dan Ia terus bekerja di dalam diri kita. Di masa perjanjian lama, persembahan yang berkenan bagi Allah dinyatakan melalui kurban bakaran dari penumpahan darah sebagai bentuk penyucian dosa. Tetapi itu berhenti di kayu salib dengan pengorbanan Putera Allah. Darah tak berdosa tak lagi diperlukan karena kita telah "dikuduskan satu kali untuk selama-lamanya oleh persembahan tubuh Yesus Kristus" (Ibrani 10:10). Dan air yang menghidupkan itu adalah Roh Kudus. Karya penebusan Allah melalui darah-Nya yang tercurah sudah terjadi satu kali, sudah selesai, tetapi Roh Kudus-Nya terus bekerja untuk mengubah kita. Ketimpangan pada salah satu pengudusan ini bisa jadi disebabkan respon kita sebagai manusia. Beberapa dari kita menerima darah tetapi melupakan air; ingin diselamatkan tetapi tidak ingin diubah. Yang lain lagi menerima air tetapi melupakan darah; sibuk bagi Kristus tetapi tidak merasakan damai di dalam Kristus. Ada baiknya juga kita renungkan, apakah kuasa darah dan air itu sudah seimbang dalam iman kita terhadap Tuhan Yesus?

Kelima belas bab yang ada di buku ini dikemas secara unik oleh Max Lucado. Di dalam setiap babnya, simbol-simbol sengsara Yesus diberikan makna dan penjelasan digali dari sudut pandang alkitabiah. Simbol-simbol ini dijelaskan dalam suatu rangkaian perjalanan salib Yesus dari satu bab ke bab lainnya. Memaknai Tuhan Yesus adalah perjalanan hidup yang tiada henti bagi setiap pengikut-Nya. Ayat alkitab yang sama akan memberikan pengertian yang berbeda dan bahkan lebih dalam lagi ketika dimaknai dalam konteks yang tepat. Buku ini bisa dijadikan salah satu media untuk lebih mendalami ayat-ayat alkitab yang mungkin sudah sering kita dengar. 

Oleh karena buku ini merupakan buku terjemahan, ada beberapa bagian yang tidak dapat saya nikmati, khususnya di bagian akhir tulisannya biasa diberikan istilah/ jokes tertentu untuk mempersuasi pembaca. Namun, dalam terjemahannya ini, istilah/ jokes tersebut saya rasa agak crunchy (garing) sehingga saya tidak merasa itu lucu walaupun saya menangkap maknanya. Juga merupakan kebiasaan Max untuk menyisipkan renungan berisi pertanyaan di akhir tulisannya. Panduan renungan ini bisa jadi media untuk lebih mendalami poin-poin di dalam tulisannya. Tapi saya pribadi cenderung malas mendalami pertanyaan tersebut karena menurut saya terlalu banyak dan secara penempatan, aneh jika diletakkan di belakang tulisannya. Akan lebih baik jika pertanyaan tersebut disederhanakan dan diletakkan di bagian akhir tiap bab sehingga saat hendak membaca bab selanjutnya, pembaca dapat mengingat sejenak poin yang didapat dari bab sebelumnya.




Jakarta,  25 Januari 2016

Rabu, 20 Januari 2016

Matahari Tengah Malam (A Novel by Marga T)

Gambar 1. Cover Novel "Matahari Tengah Malam"
Cantik.. Itu bisa jadi keadaan fisik yang disadari banyak perempuan, tapi tidak bagi Zita.. Kalau di masa kini, banyak orang yang yakin akan keindahan rupanya sehingga banyak yang senang foto-foto sendiri (istilahnya: selfie), rasanya itu jauh dari keyakinan Zita. Zita yakin dia itu jelek, ga ada indah-indahnya, dan cuma orang di level yang sama yang bisa nyantol ama dia. Maksudnya, level yang melihat dia menarik mestinya ya yang otaknya agak miring, agak rendah gitu secara IQ. 

Elroi Pakasa, laki-laki yang dikagumi Zita dan menghadirkan cinta di hatinya, hanya singgah sebentar saja. Tanpa diduga, Zita menemukan fakta bahwa Elroi tak mencintainya dengan tulus dan mendekatinya untuk membuat kakak perempuannya, Amrita, cemburu. Amrita, lebih dikenal orang sebagai Daria, adalah artis kenamaan ibukota. Banyak aktivitas di dunia hiburan dan berbagai penghargaan yang didapatnya seakan mendaulat Amrita sebagai wanita cantik penuh prestasi.

Zita bukan Amrita. Zita sering merasa iri terhadap kecantikan kakaknya. Ia melarikan dirinya berkutat dengan pelajaran-pelajaran dan menyibukan diri dengan ilmu kedokteran yang dijalaninya. Setelah ia menamatkan studinya di Amerika Serikat, Zita diminta membantu bisnis hotel ayahnya, Pak C.P. Burai. Di saat-saat itulah, ia bertemu dengan Ken Pika, anak dari calon donatur yang diharapkan membantu bisnis tersebut. Ketika ia mulai melabuhkan lagi hatinya pada pria ini, ia menjadi sosok yang kembali mengecewakan Zita. Ken Pika malah melamar kakaknya, Amrita. 

Zita senang ikut tur dan menjelajahi berbagai daerah yang unik. Saya pernah membaca kutipan Paulo Coelho, kira-kira begini bunyinya, "Travel often. When you lost yourself, you get yourself." Pencarian ini rupanya dibutuhkan pula oleh Zita. Di buku ini diceritakan, ia pernah tur ke Machu Pichu, suatu kota yang berisi kebudayaan purba suku Inca di negara Peru. Selain itu, Zita diceritakan pernah ke Khyber Pass, suatu daerah yang menghubungkan Kabul dan Peshawar. Di Khyber Pass ini, ia bertemu Steve Caldwell, seorang sahabat yang menyamankan hati Zita, terutama setelah ia kembali ke Indonesia. Saat ia galau menghadapi pernikahan kakaknya dengan Ken, ia berniat "kabur" dengan mengikuti tur ke Skandinavia. Dan surpriseeenya adalah di tur ini ia bertemu dengan seorang Indonesia, yang menjadi rekan sejawat di tempat kerjanya. 

Awalnya, Zita berpikir pria ini orang iseng karena terus menagihnya uang pinjaman saat tur di Skandinavia. Namun, ia malah seorang yang menarik, berbeda dari teman-teman cowok Zita yang juga bekerja dan menjadi sejawat di tempat yang sama. Nama pria ini adalah Nuki Titus. Zita menangani "Penyakit Anak" dan Nuki di bidang "Kebidanan". Dua bidang ini bertempat di lantai yang sama, Klinik Sabara-Birka, yang berlokasi di Puncak. "Pucuk di cinta, ulam pun tiba".. Yah mungkin karena faktor area kerja yang berdekatan, keduanya pun sering berpapasan, terutama sering 'bertabrakan' saat sama-sama sedang berjalan cepat di area lorong klinik. Perjalanan romansa Zita-Nuki bagaimana, yah dinikmati sajalah dengan membaca bukunya langsung.

Di buku ini ada banyak istilah kedokteran, mungkin karena saya memiliki latar belakang farmasi, istilah ini tidak begitu baru, tapi tentunya ini menjadi hal yang memperkaya pemahaman pembaca akan dunia kedokteran. Lewat "Matahari Tengah Malam" ini, kita jadi mengetahui sulitnya menjadi dokter, yaitu diagnosa. Jika terjadi kesalahan diagnosa, pasien bukannya sembuh, malah bisa mengalami komplikasi yang lebih parah. Ada berbagai kasus pasien yang ditangani Zita secara mendalam. Penanganan dan anjuran untuk penyakit-penyakit dalam buku ini bisa jadi ilmu baru juga untuk keluarga terkasih. Ide cerita baik sekali, alurnya sederhana dan mudah diikuti. 

Secara penilaian rasa, saya kurang dapat greget indahnya romansa antara Zita dan Nuki. Mungkin Marga sensei terlalu menekankan pada Elroi sehingga porsi kedekatan Zita dan Elroi lebih dominan daripada Zita-Nuki. Yang saya maklumi dari kisah mereka adalah Nuki pribadi yang di luar ekspektasi Zita, tidak pernah dibayangkan untuk mampir di hatinya, malah seringnya bikin kesel, bukan deg-degan. Justru, emosi Zita dibuat campur aduk setiap berurusan dengan Nuki dan itu jadi turn point yang merubah perasaan benci jadi cinta (jatuh cinta amboi indahnya).. hehehe.. Mungkin karena novel lawas yah, jadinya beberapa perumpamaan saya nilai kurang bisa dimaknai sesuai tren saat ini (tahun 2016 gituh).. hehehe.. Juga ada beberapa kata yang tidak saya ketahui maknanya, seperti 'mengumpak'.. apa yah artinya, saya lupa teks lain yang mengiringinya.

Secara keseluruhan, buku "Matahari Tengah Malam" baik untuk dibaca penggemar novel-novel lawas. Yang ditawarkan Marga sensei adalah orisinalitasnya, di mana ia menulis dengan kreativitas yang didasarkan pengalamannya di dunia kedokteran. 


  
Jakarta, 21 Januari 2016