Minggu, 20 Desember 2015

N A D I R A ( A novel by Leila S. Chudori )

 Gambar 1. Cover Buku "Nadira" (edisi pembaharuan dari "9 dari Nadira")

Nadira adalah judul sebuah novel yang baru saya ketahui keberadaannya pada 5 Desember 2015 lalu. Oleh karena seorang teman yang aktif dalam even Goodreads Indonesia menyebutkan nama seorang pengarang asal Indonesia yang baru pertama kali saya dengar, saya tertarik untuk mencari tahu tentang pengarang tersebut. Saya tidak tahu apakah dia sungguh mengagumi pengarang tersebut karena telah membaca buku-bukunya atau mungkin karena kesenangannya membaca sehingga dia memiliki informasi yang banyak yang tersiar dalam website Goodreads Indonesia. Entahlah, tapi saya bersyukur dia mau mensharingkan informasi tentang pengarang tersebut melalui media sosial sehingga saya pun tahu tentang pengarang tersebut dan karyanya.

Gambar 2. Saya dan Bu Leila di even Festival Pembaca Indonesia, Goodreads 2015(kiri ke kanan)
Perempuan itu bernama Leila S. Chudori. Saya menjumpainya di Festival Pembaca Indonesia yang diselenggarakan di Synthesis Square, Gatot Subroto. Oleh karena sebelumnya telah searching di google (hehe) , saya pun tahu wajah perempuan itu. Dan aslinya jauh lebih cantik daripada yang saya lihat di google. Agak nekat sih, tapi karena ada dorongan dalam hati untuk bisa mengenal sosok wanita ini, saya pun memberanikan diri untuk mendekatinya bahkan minta foto bersamanya! Hahaha.. Kalau dipikir secara nalar, tindakan ini agak nonsense mengingat bahkan saya belum baca bukunya! Haha.. Tindakan ini agaknya masuk ke kategori aneh bin ajaib. Ajaibnya adalah saya tidak menyesal! Haha.. Saya pernah mendengar bahwa orang normal sulit untuk mencapai kesuksesan, dan umumnya harus sedikit mungkin cukup gila untuk menjadi sukses. Memang berdasarkan pengalaman saya, saya sempat mengalami hal-hal yang belum sepatutnya saya lakukan karena belum waktunya, tapi toh saya lakukan itu dengan nekat. Jadi, hal ini bukan masalah besar toh. Kembali ke keajaiban itu, saya tidak menyesal karena ternyata memang beliau adalah sosok pengarang yang menghasilkan karya brilian.

Awalnya dikenal banyak orang sebagai "9 dari Nadira", namun yang saya dapati dari Gramedia Grand Indonesia adalah "Nadira". Beda keduanya adalah "9 dari Nadira" tampaknya memuat 9 bab cerita pendek terkait sosok Nadira, dan "Nadira" adalah penyempurnaan kisah "9 dari Nadira" yang telah ditambahkan 2 bab baru, yaitu " Sebelum Matahari Mengetuk Pagi" dan "Dari New York ke Legian". Nadira, seperti wanita pada umumnya, juga berjuang dalam kehidupannya di dunia kerjanya, keluarganya, dan hubungannya dengan pria di sekitarnya. Nadira lahir dan besar dalam asuhan keluarga yang penuh kasih sayang dari kedua orang tuanya, namun juga seperti keluarga lainnya yang tidak bebas konflik, Nadira memiliki pergumulan batin dengan saudara sekandungnya, Yu Nina. Klimaks berada di awal cerita, yaitu kisah kematian ibu kandungnya, Kemala Suwandi. Hingga akhir bab dalam novel Nadira ini, tak dipaparkan secara pasti penyebab bunuh diri yang dilakukan ibu Nadira. Nadira pun sejak saat ia menemukan ibunya tergeletak di lantai kamar tidurnya dalam keadaan tubuh biru dan mulut berbusa karena telah menelan pil tidur hingga bertahun-tahun kemudian masih menyimpan rasa ingin tahu apa dasar keputusan ibunya untuk menghabiskan nyawanya, untuk bertemu Tuhannya di hari itu.

Ayah Nadira adalah seorang wartawan senior yang mengenal ibu Nadira semasa mereka sama-sama berkuliah di Amsterdam, Belanda. Perbedaan latar belakang ayah Nadira, Bramantyo Suwandi, yang merupakan anak kyai yang dididik dalam pendidikan Islam NU dengan Kemala, yang merupakan putri Abdi Yunus, seorang konglomerat tanpa kewajiban salat 5 waktu dalam hari-harinya tak menjadi penghalang bagi percintaan mereka. Mereka dikaruniai 3 orang anak, yaitu Nina, Arya, dan Nadira. Nina adalah sosok kakak yang bertanggung jawab, bahkan merasa harus diakui pertanggung jawabannya itu oleh orang tuanya dan begitu ekspresif dibandingkan kedua adiknya. Arya adalah seorang yang perhatian pada kakak dan adiknya, walau pada masa kecilnya begitu nakal dan sering membuat Yu Nina marah. Nadira adalah bungsu yang mewarisi kecintaan ayahnya pada dunia jurnalistik. Pada masa kecilnya, ia sudah menghasilkan uang dari hobinya membuat cerpen. Dan di masa dewasanya, ia bekerja sebagai wartawan di majalah "Tera" dan menangani rubrik "Politik, Hukum, dan Kriminalitas".

Konflik antara Nina dan Nadira sesungguhnya bukan masalah besar karena pada dasarnya hubungan kakak adik yang akrab pun sering diisi perselisihan karena perbedaan pendapat. Namun, pada kasus Nadira-Nina, agaknya ini bermula dari kecemburuan Nina kecil terhadap kasih dan pengakuan Bram terhadap talenta Nadira dalam menulis cerpen yang diterbitkan dalam majalah dan koran, bahkan Bram membingkai karya Nadira tersebut. Nadira bukanlah sosok pendendam terhadap sikap Nina di masa lalu yang pernah dengan teganya menghancurkan bingkai-bingkai cerpennya melalui petasan yang dipersalahkan kepada Arya, namun ia masih menyimpan kemarahan atas perbuatan Nina. Hingga pada usia dewasanya, Nina menjalani sesi konseling dan melakukan terapi emosi bersama psikiater untuk membereskan problem masa lalunya yang belum dituntaskan kepada Nadira. Namun, seiring berjalannya waktu, kunci hubungan Nina-Nadira ini perlahan mulai ditemukan justru setelah Nina melalui masa sulit dalam pemulihannya dari situasi pascaperceraian yang dialaminya dengan Gilang Sukma, sang koreografer handal perayu dan penikmat hubungan bebas itu.

Dunia Nadira berwarna kelabu. Sosok Utara Bayu, sang pimpinan wartawan majalah "Tera" yang secara langsung maupun tak langsung terus mendukung Nadira, tampaknya tidak cukup persuasif untuk mengajak Nadira bangkit dari lubang kubur yang didiaminya. Ya, lubang kubur, itulah istilah tempat Nadira berada sekarang. Dia hidup namun bukan di tengah dunia yang membuatnya hidup. Dia tidak mati, namun hati dan tubuhnya merasa terhimpit batu besar yang menekannya untuk mendiami lubang kubur imaginasinya. Ia menikmati betul ruang kosong, gelap, dan sempit di kolong mejanya. Hingga teman sekantornya menyebutnya "penjaga kolong Tera". Namun, warna kelabu ini berganti menjadi merah jambu ketika ia mengenal Niko Yuliar, seorang aktivis pada zaman perkuliahannya semasa menjadi mahasiswa, yang kini menjadi seorang konsultan permasalahan politik dan ekonomi. Niko adalah seorang pecinta karya sastra sebagaimana Nadira dan Utara Bayu. Ini adalah kutipan Sajak Ibunda dari WS Rendra yang dibacakannya untuk Nadira dan seketika mengubah warna kelabu di hidup Nadira menjadi merah jambu.

"Mengingat ibu,
aku melihat janji baik kehidupan.
Mendengar suara ibu,
aku percaya kebaikan hati manusia.
Melihat foto ibu,
aku mewarisi naluri kejadian alam semesta..."

Tak cukup hanya cinta, kira-kira itulah gambaran mengapa Nadira pun akhirnya meminta bercerai dari Niko. Niko yang memiliki affair dengan beberapa perempuan, bahkan perempuan yang sudah menikah, dan terjadinya setelah mereka berumah tangga, cukup menjadi alasan Nadira untuk meminta pisah. Ya, mereka saling mencintai namun cinta tersebut tak cukup mampu membendung ego yang menguasai diri mereka masing-masing. Nadira dikaruniai Jodi, anak dari hubungannya dengan Niko. Setelah perceraian ini, ia menjalani cuti sabatikal dengan meminta izin Utara Bayu. Awalnya Tara hanya mengizinkan setahun, namun karena Nadira memaksa, ia mengizinkan Nadira menjalani sesuai kehendaknya. Tara agaknya merupakan perwujudan pria masa kini, yang asyik dengan kehidupan kerjanya dan tidak ngoyo dengan urusan asmaranya. Ia tidak cuek, namun perhatian yang dicurahkannya pada Nadira belum cukup mampu untuk menggetarkan dan menggerakkan Nadira untuk meruntuhkan hati gunung esnya. Hingga pada akhirnya, Nina menyadarkan Nadira akan betapa besarnya kasih yang ditujukan bagi Nadira, Nadira tergugah untuk menyelesaikan urusannya yang masih belum selesai dengan Tara. Terlambat memang karena Tara telah mengikat janji dengan Kara Novena, seorang senior wartawan di Tera yang begitu mencintainya namun hingga akhir kisah Nadira, ia tidak mendapatkan hati Tara walaupun Tara sendiri menjanjikannya.

Di penghujung novel ini, bab At Pedder Bay, Nadira menjalani hubungan lamanya yang pernah terurai dengan Marc Gillard, temannya di kampus Victoria, Kanada, sejak 19 tahun silam. Bahkan ia dipertemukan dengan Rick Vaughn, seorang kawan lama yang mengaguminya di kampus yang sama. Dan kisah ini masih akan berlanjut, demikian dijanjikan Bu Leila di akhir pengantarnya. Bahkan akan ada "Catatan Harian Kemala Suwandi", mungkin suatu hari nanti.

Penilaian saya untuk Nadira adalah two thumbs up! Kalau secara rating bintang, saya berikan 4 dari 5 bintang. Alasannya, saya mengharapkan Utara Bayu dapat menjangkau hati Nadira. Yes, I hope for that, Bu Leila.. Terlepas dari kisah cinta yang tak sampai, Nadira sendiri mengajarkan pada saya bahwa seorang perempuan, yang konon adalah makhluk yang halus perasaannya, memiliki kekuatan yang luar biasa. Pada cerita lengkapnya, akan bisa dibandingkan bagaimana cara Nina, Arya, dan Nadira menghadapi duka akibat ditinggal ibunda yang mereka kasihi. Saat Nina memilih kabur melanjutkan S2 atau S3 nya di New York, Arya memilih kabur untuk memperhatikan kehidupan hutan Indonesia, Nadira secara apa adanya menghadapi dukanya dengan bekerja dan mengurus ayahnya, yang juga berduka akibat ditinggal istrinya itu. Berdasarkan apa yang saya alami sendiri, mengurus orang lain ketika kita sendiri tak bisa mengurus diri sendiri dengan benar adalah sangat sulit. Meskipun manusiawi bagi Nadira untuk meluapkan perasaannya dengan bersembunyi di kolong mejanya, itu tidak menjadi kelemahannya. Itu adalah cara Nadira untuk menghadapi dukanya, tak peduli dengan gunjingan burung-burung nazar di kantornya. Menurut saya, Nadira adalah sosok yang nyentrik, ia berupaya menjadi dirinya sendiri saat ia menghadapi duka di tengah kecintaannya akan profesinya dan kehadirannya di tengah komunitasnya. Kekurangan dari novel ini adalah ada teknis redaksional di satu bagian. Secara alur, tulisan dibuat dengan alur maju dan mundur sehingga cukup membuat nalar bekerja untuk menyusun urutan peristiwa yang diurai dalam keseluruhan bab buku ini. Tapi secara keseluruhan, buku ini sangat layak untuk dinikmati.



Jakarta, 20 Desember 2015

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. thanks reviewnya mba, saya baru cair tahu tentang buku ini. kayaknya menarik untuk dibeli. sebelumnya salam kenal :)

    BalasHapus