Rabu, 01 Februari 2023

Family Comes First

One thing to be thankful in my life is the fact that I have a complete family on my side. They're not really in very good and healthy conditions. Each of them have suffered an illness, but it is common as people get older, disease show and impacts life thoroughly. The illness symptoms seems bad but they have good spirits to overcome it. Yeah that's what I'm so proud of my parents.

I do really love them, my parents and my little brother. My brother is a unique person, to the point that he often make us annoyed. Haha. His blood is AB type, is that why he has different point of view compared to people in general? Hahaha. Just like my parents, he struggled for his life. Having him on our side made me realize that a person can be so naive to the point that we need communal love to strengthen each other. Accepting and forgiving are parts of the communal life itself.

As a family, we aren't always be in harmony. Sometimes we argue for our opinions, but in the end we accept the difference and try to tolerate others. My father shows the real affection of father's love. Family comes first than himself. I used to think that he contributes so much to form my perspective of what ideal family should be. And I'm so thankful for it! 

I am a Christian. I've known Christian values in my whole life, but to be honest I'm not a good example of how Christian should live. I have so much dark side and I don't prioritize God's will even I have reached my age now. But God always have His way to draw me near. One thing I learn in life that when we're being in dark, we only can see darkness, but when we're being in light, we can see things clearly. 

One day I accidentally saw it. A thing that change my perspectives of my dearest one. The one that I used to trust wholeheartedly betrayed us. When I first read the wild conversations, I felt like being bombed at a moment. Is it true? Are my eyes deceiving me? All emotions mixed as one. And I can't hold it any longer. I have confirmed it to the person, but I got only denial. What? Shame on you. Why are you doing this to us? Why you stabbed me on my back? These questions still linger on my head till now. 

It was so hurt to face the situation at that moment. We argued a lot. And then I realized, as human I can't change people. If they choose to do so, who am I to change their preference? I can't do so much, so by then I prefer loosing all the depression. By letting it go, we reconciles and peace back at us. But honestly, my trust has faded too. Till this moment, our family still have the issue. But as hurted ones, we prepare some strategies to prevent more bad impacts in future.

As a human we have needs. We wanna be appreciated. We search for so much fun. But that fun is no longer fun when it actually kills our people's feeling. Besides, doing that shows how we take them for granted. It's the lesson I got from our family circumstance. 


Senin, 04 Juli 2016

What Do I Want to Do?

Udaah lama banget ga bikin tulisan di blog.. ampe mikir lama beud buat nyari inspirasi nulis.. wkwkwkwk... kadang-kadang waktu lagi bengong kayaknya banyak yahh kepikiran ide buat di-share.. pas depan lappy langsung buyarr.. buahahaha..

I don't know why.. tiba-tiba aja teringat sama posting-an temen di medsos, sebut saja *ace*ook beberapa bulan lalu.. temen gw ini maen semacem games.. hahaha.. bukan games yang nyari gambar-gambar sejenis ato bangun-bangun apa gitu yah.. tapi games personality gituh.. hehe.. ibaratnya kita dibuatin summary personality kita gitu ama games ini.. yang menarik ada bagian dalam games ini yang menyatakan kalo "she knows what she wants and..." Yah bagian selanjutnya gw agak lupa lah secara udah lama pisan.. hahaha.. Kalimat itu gak bermaksud nyinggung siapa-siapa c pastinya, tapiiii kok gw kesentil yaaahh.. At that moment, I asked to myself "Do I know what I want to do?" 

Kesannya gw lagi bingung yahh? hahaha.. ya memang gw bingung ama diri gw dan bahkan mau kayak gimana gw mau jalanin hidup gw ini sangat sangat membingungkan.. mungkin bisa dibilang gw udah kayak ga ada gairah hidup lagi.. gw punya c passion/ambisi.. tapi gw ga tau cara mewujudkan passion ituuh.. :'( gw punya c mimpi.. tapi gw ga tau harus memulainya dari mana dan gw juga ga tau itu mimpi yang tergolong ngekhayal ato yang realistis.. intinya gw mau melakukan sesuatu tapi gw nge-stuck.. hikkss

Gw juga bingung c mau menjelaskannya mulai dari mana.. Mungkin lebih baik mulai dari apa yang jadi passion dan mimpi gw.. gw ga tau apa definisi passion dan mimpi ini bener apa enggak.. udah banyak yang dipikirin, ga usah nambah-nambahin tentang definisi-definisi lagi lah yaa.. 

Gw perlu sharing sekilas tentang diri gw juga kali yak biar apa yang jadi passion dan mimpi gw bisa dimengerti lebih baik.. jadi, gw itu orangnya tipe diplomat.. pernah ngeliat kesimpulan tes kepribadian dan sifat-sifat yang ditunjukin pas ama sifat gw (secara garis besar.. haha) gw orangnya suka ngomong.. dulu di pekerjaan yang lama, gw suka ngobrol ama orang di telpon.. haha.. gw suka make perasaan kalo lagi mikir atopun ngambil keputusan.. beda yah ama baper :p (ga rela dibilang baper soalnya).. gw suka ama ide-ide yang extraordinary yang katanya bisa mengubah dunia menjadi lebih baik (lebay mode on :p buahahaha).. 

Sampe sekarang gw masi beranggapan passion gw itu mengenai tulisan-tulisan orang.. gw suka membaca tulisan orang dan bermimpi buat bisa mengedit tulisan-tulisan itu.. hehehe.. mimpi besar gw sendiri pengen punya usaha yang bisa melibatkan banyak orang untuk terlibat.. antara di bidang lingkungan hidup karena ngeliat kota Jekardaahh tercinta yang kurang tertata dan juga melihat sebenarnya ada banyak peluang bisnis tapi belum digali ajahh, yang kepikir c dalam hal kuliner/ bisnis makanan gituhh.. hehehe..

Merintis itu bukan hal yang mudah.. perlu waktu untuk memiliki skill-nya, membangun jejaringnya, mencari pasarnya.. Menjalani sesuatu yang baru itu gak segampang membalik halaman kertas.. Kurang lebih itulah yang gw pahami saat ini.. Gw punya background pekerjaan di pabrik farmasi.. Yapp, gw lulusan farmasi dan punya gelar apoteker. Mungkin udah keasikan kerja di pabrik kali yah, jadi gw ga memikirkan untuk kerja di apotek untuk saat ini.. Pertama, gajinya kecil... Kedua, gw ga antusias menebak resep dokter hahaha.. Tapi kerja di pabrik juga berat brooh sisss.. Beratnya ampe pindah ke badan gw bikin badan tambah berat alias makmur hehehe.. Background kerja gw ama hal yang mau gw coba ini bertolak belakang yaahh.. I know..

Dalam hidup butuh keseimbangan.. Kalo lo ga bisa juggle waktu lo antara pekerjaan, keluarga, pertemanan ato aktivitas lain-lainnya, lama-lama lo bisa stress guys.. Dan itu yang gw rasain waktu kerja di pabrik kemarin.. Ada banyak hal yang terjadi.. Juga waktu itu ada masalah yang belum diselesaikan secara benar dalam keluarga sehingga membuat gw terpikir untuk mengupayakan keseimbangan itu, whatever it takes.. saat itu gw berada di satu titik di mana gw butuh waktu untuk memperhatikan rumah, keluarga, dan bersamaan dengan itu juga berusaha explore minat dan bakat di bidang lainnya.

Dari berbagai hal yang gw alamin sampai saat ini, gw bersyukur Tuhan membentuk gw dalam waktu yang panjang ini. Gw udah mulai bisa melihat bagaimana waktu-waktu dalam hidup gw bisa diisi dengan banyak hal yang baik. Apakah itu kehendak Tuhan atau bukan? Well, I don't know for sure now.. Tapi pada prosesnya gw yakin hal-hal ini akan mengantar gw ke arah yang baik atau minimal gw berubah jadi lebih baik. Pernah baca dari buku Purpose Driven Life-nya Rick Warren, Tuhan tidak menekankan pekerjaan/ aktivitas spesifik apa yang kita lakukan, tapi Dia berkenan akan menjadi pribadi seperti apa kita di dunia ini.

Beberapa minggu yang lalu gw sempet pergi menghadiri ibadah kebaktian di JPCC bareng beberapa teman gereja. Pembicaranya Johannes Thelle.. Temanya "Identity & Strength".. Ada poin yang menarik dari apa yang dia sampaikan. He said that, "Don't let what do you do determines what you are." Hmm ini menarik karena belakangan itu gw bergumul "Apa sih yang mau gw lakuin dalam kondisi seperti ini? Gw mau jadi apa sih?"

The Father had given Jesus power over everything. Jesus knew this. He also knew that he had come from God. And he knew that he was going back to God. So while they were eating, Jesus stood up and took off his robe. He got a towel and wrapped it around his waist. Then he poured water into a bowl and began to wash the followers’ feet.[a] He dried their feet with the towel that was wrapped around his waist. (John 13:3-5 ERV)

Perikop yang terambil dari Yohanes 13:3-5 (ERV/ Easy to Read Verse) menunjukkan kenapa kita mesti tahu dulu siapa kita baru kita yakin apa yang kita lakukan itu bener. Tuhan Yesus tahu siapa diri-Nya, kuasa apa yang ada pada diri-Nya, dan itulah yang mendasari apa yang dilakukan-Nya pada murid-murid-Nya. Perbuatan-Nya saat itu bukan perbuatan asal/ iseng, tapi perbuatan yang dilandasi akan kemurahan hati-Nya dan keinginan-Nya agar itu pun menggerakkan murid-murid-Nya melakukan hal yang sama.

Saat mendengar dan memahami poin ini, gw mikir dalam pencarian apa yang mau dilakukan selanjutnya ini mestinya mulai dari men-define siapa gw.. sifat-sifat apa yang gw punya.. kekurangan apa yang mesti diperbaiki.. kelebihan apa yang mesti ditingkatkan.. relasi seperti apa yang mestinya dibangun dengan orang-orang yang gw kenal.. dan apa itu kira-kira udah sesuai dengan yang gw yakinin di dalam Tuhan..

So, what do I want to do? Hmm jawabannya gak saklek nihh karena pilihan apa yang mau dilakukan yahh ada banyak banget.. I open my eyes and I see a lot of opportunities ahead, but it depends on me what do I choose. I love my first job. I don't mind to work in the same place if I could. ehmm.. harapan gw sihh enggak balik lagi ke tempat pertama.. Honestly, there's a little embarrassment if I have to work in the previous company. Dan saat ini, Tuhan mungkin lagi mau gw berkarya di tempat lain. Thank You God for giving me a new chance.

And then, what do you want to do guys?

Rabu, 16 Maret 2016

A Passionate Night

Di beberapa waktu yang lalu, sudah sangat lama, saya tidak ingat persisnya kapan, saya sempat bersaat teduh (saat teduh adalah renungan akan Firman Tuhan) dengan menggunakan buku Renungan Harian. Isi renungan tersebut membekas betul dalam hati saya karena pertama kalinya saya diajak untuk melihat satu kisah dalam alkitab dalam sudut pandang yang baru. 

Firmannya terambil dari Lukas 24:13-35 (Yesus menampakkan diri di jalan ke Emaus). Pada pagi hari itu Yesus telah bangkit dan di penghujung hari itu dua dari murid Yesus tengah dalam perjalanan meninggalkan Yerusalem untuk menuju ke Emaus. Di tengah perjalanan mereka sebenarnya menjumpai Yesus, namun di sini disebutkan bahwa "ada sesuatu yang menghalangi mata mereka sehingga mereka tidak dapat mengenal Dia. (Lukas 24:16)"

Lebih lanjut kedua murid itu banyak bercakap dengan Dia di dalam perjalanan termasuk pertanyaan dalam benak para murid mengenai apa yang dialami Tuhan Yesus yang sejatinya tidak dapat mereka pahami pada saat itu. Dalam perjalanan itu Tuhan Yesus menjawab pertanyaan yang timbul bahkan mengajarkan tentang hukum-hukum Taurat. 

Menjelang malam mereka sudah mendekati kampung yang ditujunya dan Tuhan Yesus seolah hendak berpisah namun kedua murid mengajak-Nya untuk tetap bersama sampai malam itu. Dan ketika mereka santap malam bersama dimana Tuhan Yesus memecah roti dan mengucap syukur barulah mata mereka terbuka bahwa dia adalah Dia yang mereka kasihi. 

Di dalam renungannya, penulis membukakan bahwa malam itu merupakan malam yang penuh gairah (a passionate night) bagi kedua murid. Hal ini bisa dilihat sendiri dari pengakuan salah satu murid, "Bukankah hati kita berkobar-kobar, ketika Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan ketika Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita? (Lukas 24:32)"

Berkobarnya hati para murid tidak berhenti sampai di sini. Segera setelah mereka menyadari kehadiran Tuhan Yesus ini, mereka langsung bangun dan terus kembali ke Yerusalem untuk memberitahukan murid-murid yang lain. Saya diberitahukan dalam suatu kotbah bahwa sesungguhnya perjalanan murid-murid ini bukanlah perjalanan singkat. Awal mula perjalanan mereka adalah dari Yerusalem, tempat murid-murid yang lain berada. Perjalanan ke tujuan mereka pun dicapai setelah lewat satu hari perjalanan. 

Setelah kebangkitan-Nya Tuhan Yesus memilih untuk menampakkan diri-Nya kepada beberapa orang, termasuk kedua murid ini. Ia melayani kedua murid ini secara pribadi. Ia menjawab pergumulan termasuk kebingungan dan kekecewaan yang ada dalam benak para murid tentang sosok mesias yang mereka yakini dalam diri Yesus. Bagi orang Yahudi semestinya mesias itu tidak akan mati dengan cara yang mengenaskan seperti yang dialami Tuhan Yesus.

Tuhan Yesus tidak meninggalkan murid-Nya dalam ketidakpastian. Karena itulah, Ia layani mereka pribadi lepas pribadi. Di bagian lainnya dalam alkitab, dapat dijumpai Ia yang kembali melayani Simon Petrus untuk memintanya menggembalakan domba-domba-Nya. Ia juga jumpai Tomas yang masih tidak percaya sampai ia mencucukkan sendiri tangannya ke dalam bekas paku di tangan Yesus. 

Pesan Tuhan Yesus teramat jelas. Ia menyatakan bahwa adalah baik bagi Dia untuk pergi meningggalkan mereka karena pada waktunya nanti, seorang Penolong yaitu roh kudus (paracletos) akan datang dan memampukan para murid untuk pergi dan menjadikan seluruh bangsa murid-Nya.

Kembali ke renungan yang pernah saya baca itu. Saya diajak merenungkan kapan terakhir kali saya mengalami perasaan yang bergelora dalam relasi dengan Tuhan Yesus? Hmm.. Saya tidak ingat seperti apa pengalaman yang saya rasakan dalam hubungan dengan Tuhan Yesus waktu itu. 

Beberapa waktu yang lalu, sekitar akhir tahun 2015, saya sempat rindu sekali akan hubungan yang intim dengan Tuhan Yesus seperti yang pernah saya alami saat di kampus dulu. Setelah lulus kuliah dan bekerja di sebuah perusahaan besar, saya merasa tidak sanggup mengatur waktu, baik untuk saat teduh di pagi hari dan berdoa secara teratur. Sekarang hal ini bukan masalah lagi karena saya sudah resign dari tempat kerja tersebut dan masih mencari pekerjaan yang sesuai dengan talenta saya. 

If both of them (the Jesus' disciples) had a passionate night with Jesus, so did I. Bedanya, pada kisah kedua murid, mereka dilayani secara langsung oleh Tuhan Yesus. Pada kisah saya, saya percaya Tuhan Yesus melayani papa saya melalui saya. 

Sejak papa saya tinggal terpisah dari rumah kami oleh karena proses perawatan yang dijalaninya, saya merasa agak jauh dari papa saya. Pada satu titik, Tuhan tegur saya di dalam satu renungan saat kebaktian minggu. Semakin ke sini teguran ini semakin jelas. Tuhan Yesus mau saya bermisi bagi keluarga saya. 

Saya lupa persisnya tanggal berapa, di minggu pertama Februari itu saya berencana mengembalikan kursi roda yang sempat dipinjam dari gereja oleh tante saya. Kursi roda itu sempat dipakai sama papa saya dalam perjalanan ke rumah sakit. Sorenya saya sempat nge-gym dan malamnya saya merencanakan berkunjung ke rumah tempat papa tinggal untuk membersihkan kursi roda yang sudah lama tak digunakan tersebut.

Saat saya membersihkan kursi roda, papa saya menemani saya dan mengajak bicara tentang beberapa hal. Memang papa tipe orang yang senang ngobrol. Saya menangkap bahwa dalam masa-masa istirahatnya di rumah itu, papa merasa ingin berfoto keluarga bersama kami (mama, saya, dan adik laki-laki saya). Ini bukan keinginan biasa karena sebelumnya papa saya tidak terlalu suka akan foto dan tidak menganggap itu penting. Wajar sih karena cowok mungkin bawaannya cuek.

Hingga di satu titik, saya merasa waktu tersebut adalah kesempatan berbicara mengenai Tuhan Yesus. Keinginan tersebut timbul secara tiba-tiba dan saya berencana tidak bicara secara blak-blakan tetapi dengan strategi. Saya mulai menanyakan bagaimana perasaannya setelah sembuh dari kecelakaan. Pengertian sembuh di sini adalah kondisi yang lebih baik dari sebelumnya. 

Sebelumnya kondisi papa benar-benar menyedihkan. Dagingnya sobek dan saya terpikir papa butuh banyak protein. Nafsu makannya pun hilang. Di minggu pertama papa dibawa ke rumah sakit, saya terpikir membelikan steak sapi kesukaannya yang suka dimakan bersama nasi (kebiasaan ini memang aneh hehe) di Joni Steak Pasar Baru. 

Sesudah memesan salah satu menu, saya melipir sebentar ke Sevel karena tidak mendapat tempat duduk di Joni yang sedang sangat ramai. Malam itu, saat duduk di bangku Sevel, saya merenung dan merasa sangat sedih. Kalau dipikir-pikir saat it was the lowest point and the saddest moment in my life. Saat bekerja di kantor pun, saya terus teringat akan kondisinya.

Jawabannya papa saat itu tidak begitu jelas. Saya lihat memang papa saya bukan tipe yang senang mengekspresikan syukur secara spontan. Lalu saat saya tanyakan apakah papa saya mau bergereja di hari minggu, jawabannya adalah yes. I'm absolutely happy. Keluarga kami tidak seperti keluarga kristen lainnya yang senang dan aktif bergereja. Akan panjang jika saya ceritakan di sini. Tapi menurut saya, latar belakang dari semua ini bermula dari keluarga mereka yang tidak mendidik secara kristen.

Pola asuh kristen sangat mempengaruhi pertumbuhan iman seseorang. Walaupun mereka tidak secara intensif mencontohkan hidup kristen dalam hidup saya, saya bersyukur Tuhan Yesus bekerja dalam banyak cara untuk memanggil saya menjadi anak-Nya. 

Sesungguhnya, sangat berat bagi saya untuk berbicara tentang Tuhan Yesus kepada papa saya. I'm still working on that. Papa adalah sosok dominan di keluarga. Topik Tuhan Yesus bukanlah topik favorit yang mudah untuk diperbincangkan. Karena itulah tidak banyak yang kami percakapkan dalam hal iman. Namun pada malam itu saya merasa saya harus mengajak papa untuk berdoa. Awalnya berat dan terasa aneh tapi akhirnya saya mengajaknya berdoa. 

Semua orang bertanya apa tujuan hidup manusia. Dalam buku "Purpose Driven Life", Rick Warren menjelaskan ada 5 tujuan hidup manusia, yaitu penyembahan kepada Allah, persekutuan dengan sesama Kristen, pemuridan untuk menjadi serupa dengan Tuhan Yesus, pelayanan kepada sesama anggota tubuh Kristus, dan penginjilan kepada orang yang belum mengenal Kristus.

Dari semua tujuan yang Rick Warren paparkan, saya masih belum tuntas di tujuan kelima yaitu penginjilan (bermisi). Dulu saat masih aktif di pelayanan kampus, saya sempat diajak mengikuti training misi. Saat itu saya senang dengan konsepnya dan melihat bermisi sebagai hal yang baik. Dalam persekutuan kampus kami pun seakan diajak untuk memiliki hati yang peka bagi jiwa-jiwa yang belum mengenal keselamatan.

Beberapa waktu yang lalu, saya mendengar siaran kotbah seorang pendeta favorit saya, Pdt. Yakub Susabda melalui youtube, judulnya "Ladang Misi yang Tersembunyi". Ini judul yang sangat menarik bagi saya. Saya tahu ini akan dibawa ke misi injil. Seperti biasanya, kotbah Pak Yakub mengguncang nurani saya. 

Yang jadi penekanan Pak Yakub adalah sebelum gereja fokus mengirim jemaatnya bermisi ke luar kota bahkan luar negri, jangan melupakan bagaimana kondisi keluarganya dan kerohaniannya. Kalau orang tersebut tidak punya keluarga yang baik, bagaimana mungkin ia akan punya hati yang peka dan menangis untuk jiwa-jiwa yang berjalan menuju kebinasaan? 

Kerohanian yang dimaksud adalah pengenalan akan kebenaran Firman Tuhan. Akan sangat berbahaya jika misi dilakukan untuk sekadar pengembangan agama sebagaimana procelitism yang dialami orang Yahudi di zaman Tuhan Yesus. Mereka terjebak untuk mengagungkan agamanya tetapi kehendak Tuhan tidak mereka utamakan.

Di titik inilah saya menyadari penyebab saya masih belum membawa jiwa satu demi satu bagi Tuhan. Ya, penyebabnya adalah saya belum berdamai dan membawa jiwa keluarga saya terlebih dahulu. 

Jika melihat tujuan hidup yang dipaparkan Rick Warren kok rasanya sempurna banget gitu yah? Apa ada yang bisa melakukan semua itu? Dalam salah satu kotbahnya, Pak Yakub menyatakan hal ini bisa dilakukan. Yesus menjanjikan adanya penolong yang lain/paracletos (Yohanes 14: 15-31). Jadi jika seseorang sudah lahir baru di dalam Roh Kudus Allah, ia memiliki roh yang penuh kuasa tersebut untuk menyenangkan Allah. 

Saya pun menyadari saya ini cuma butiran debu. Ketika mengingat seperti apa hidup saya dahulu sebelum kenal Kristus, saya jijik dengan semua itu. Semuanya adalah hina dan sia-sia di dalam pengetahuan akan terang kasih Kristus. 

Di salah satu bagian dalam bukunya, Rick Warren mengingatkan tubuh kita sendiri adalah persembahan yang hidup bagi Allah. Setiap saat persembahan bisa merangkak dari atas mezbah. Karena itu, setiap hari kita perlu datang mengakui keberdosaan kita dan membawa persembahan hidup kita kepada-Nya.

Rick Warren juga memberi tips untuk memiliki hati yang bermisi. Saat kita berhadapan dengan orang baru maupun orang yang sering kita jumpai, bisikkan dalam hati kita, "Apa yang dapat saya lakukan serta doakan untuk orang ini?" Saya percaya kerinduan untuk punya hati yang penuh belas kasihan tidak hanya ada dalam hati saya. Kalau Tuhan bisa bekerja dalam hati saya yang kotor ini tentu alangkah dahsyatnya karya-Nya dalam hati seluruh anak-Nya.

Di satu titik dalam hidup saya, saya pernah mempertanyakan untuk apa lagi saya hidup karena saya sudah tidak punya passion. Gairah dalam diri saya sudah mati. Saya merasa sudah cukup dan merasa alangkah indahnya jika bisa bersatu dengan Tuhan Yesus dalam kemuliaan-Nya. Kembali saya mengingat renungan di kebaktian minggu waktu itu, kembali mengingat teguran Tuhan atas misi yang belum saya tuntaskan. Ya, saat ini saya masih harus terus hidup untuk bermisi bagi Allah. Dimulai dari keluarga saya dan pelan-pelan bagi orang-orang lain yang Tuhan hadirkan dalam kehidupan saya. 




 Jakarta, 16 Maret 2016

Senin, 25 Januari 2016

He Chose the Nails (Max Lucado)


Cover "He Chose the Nails"

Judul: He Chose the Nails
Pengarang: Max Lucado
Penerbit: Gospel Press
Tahun Terbit: 2002
Halaman: 232 halaman

Max Lucado adalah tipikal penulis buku yang cerdas. Di bagian awal tulisannya, ia memasukkan ilustrasi terkait poin yang hendak dibahasnya. Ilustrasinya menarik, pada umumnya menceritakan dirinya, keluarganya, atau lingkup aktivitasnya di berbagai tempat. Awal mula saya menyukai buku rohani adalah sejak saya memiliki beberapa bukunya. Yang pernah saya baca adalah "Temukan sweet spot anda!" . Niat saya membaca buku itu untuk mendapat pencerahan untuk pergumulan panggilan hidup. Namun, ada satu bagian di dalam buku itu yang tanpa saya duga malah membawa saya pada keindahan perumpamaan kisah di Perjanjian Lama, yaitu tentang pohon-pohon yang sedang mencari raja pohon atas diri mereka. Really interesting! Sempat lama saya gumulkan apa makna dari kisah itu, tapi Max sendiri punya analisisnya untuk perumpamaan tersebut. Bagian lengkapnya dari "Temukan sweet spot anda!" ini mungkin di kesempatan lain akan saya sharingkan karena pada dasarnya semua orang punya pergumulan terkait panggilan hidupnya. I really hope that the existence of this book reminds us to have right value and correct perspective. 

He Chose the Nails, diterjemahkan ke judul bahasa Indonesianya sebagai Ia Berkorban untuk Kita, terdiri dari 15 bab. Dalam masing-masing bab itu, diulas seluruh elemen terkait kesengsaraan Yesus, terutama di hari penyaliban Tuhan Yesus hingga ke kebangkitan-Nya. Melalui ludah para prajurit, mahkota duri, paku-paku, tulisan di atas kayu salib, kedua salib di kiri dan kanan salib Yesus, jalan setapak, jubah-Nya, daging yang tercabik-cabik, bunga karang yang direndam dalam anggur, darah dan air, kayu salib-Nya sendiri, baju pemakaman, hingga makam-Nya yang kosong, Max memaparkan betapa besar dan agung-Nya kasih Anak Allah yang lahir sebagai manusia, menghadapi pergumulan-pergumulan manusia, dan menanggung dosa umat manusia sekalipun Ia tidak berdosa! 

Poin yang menarik di dalam bab yang berjudul "Janji Allah dalam Paku-paku" adalah tangan Tuhan Yesus menerima dengan rela paku-paku yang ditancapkan pada telapak-Nya, dan kaki-Nya pun tidak melawan pada saat Ia dipaku di kayu salib-Nya. Padahal tangan itu adalah tangan yang mahakuasa. Kita tahu bahwa tangan itulah yang membentuk Adam dari debu tanah dan mengukir kebenaran pada loh batu. Dengan satu lambaian, tangan ini menjatuhkan menara Babel dan membelah Laut Merah. Dari tangan ini beterbangan belalang yang menjadi wabah di Mesir dan burung gagak yang membawa pangan ke Elia. Tetapi tinju itu tidak dikepal...dan saat itu tidak dibatalkan. Sebesar jangkauan kedua tangan-Nya yang terpaku dan membentang pada kayu salib, Tuhan Yesus menunjukkan kasih-Nya yang berusaha merangkul kita untuk menerima anugerah penebusan-Nya.

Apa Yesus tidak bisa menghentikannya? Dengan menegangkan otot-Nya, dengan mengepal tinju-Nya, ia bisa melawan. Bukankah ini tangan yang sama yang meredakan badai di laut? Membersihkan Bait Allah? Membangkitkan orang mati? (Max Lucado)


Satu bab lainnya yang juga favorit saya, berjudul "Janji Allah dalam Darah dan Air" mengingatkan bahwa pekerjaan Allah (pengudusan-Nya) berlangsung di dalam manusia secara posisional dan progresif. Allah memulainya untuk kita dan Ia terus bekerja di dalam diri kita. Di masa perjanjian lama, persembahan yang berkenan bagi Allah dinyatakan melalui kurban bakaran dari penumpahan darah sebagai bentuk penyucian dosa. Tetapi itu berhenti di kayu salib dengan pengorbanan Putera Allah. Darah tak berdosa tak lagi diperlukan karena kita telah "dikuduskan satu kali untuk selama-lamanya oleh persembahan tubuh Yesus Kristus" (Ibrani 10:10). Dan air yang menghidupkan itu adalah Roh Kudus. Karya penebusan Allah melalui darah-Nya yang tercurah sudah terjadi satu kali, sudah selesai, tetapi Roh Kudus-Nya terus bekerja untuk mengubah kita. Ketimpangan pada salah satu pengudusan ini bisa jadi disebabkan respon kita sebagai manusia. Beberapa dari kita menerima darah tetapi melupakan air; ingin diselamatkan tetapi tidak ingin diubah. Yang lain lagi menerima air tetapi melupakan darah; sibuk bagi Kristus tetapi tidak merasakan damai di dalam Kristus. Ada baiknya juga kita renungkan, apakah kuasa darah dan air itu sudah seimbang dalam iman kita terhadap Tuhan Yesus?

Kelima belas bab yang ada di buku ini dikemas secara unik oleh Max Lucado. Di dalam setiap babnya, simbol-simbol sengsara Yesus diberikan makna dan penjelasan digali dari sudut pandang alkitabiah. Simbol-simbol ini dijelaskan dalam suatu rangkaian perjalanan salib Yesus dari satu bab ke bab lainnya. Memaknai Tuhan Yesus adalah perjalanan hidup yang tiada henti bagi setiap pengikut-Nya. Ayat alkitab yang sama akan memberikan pengertian yang berbeda dan bahkan lebih dalam lagi ketika dimaknai dalam konteks yang tepat. Buku ini bisa dijadikan salah satu media untuk lebih mendalami ayat-ayat alkitab yang mungkin sudah sering kita dengar. 

Oleh karena buku ini merupakan buku terjemahan, ada beberapa bagian yang tidak dapat saya nikmati, khususnya di bagian akhir tulisannya biasa diberikan istilah/ jokes tertentu untuk mempersuasi pembaca. Namun, dalam terjemahannya ini, istilah/ jokes tersebut saya rasa agak crunchy (garing) sehingga saya tidak merasa itu lucu walaupun saya menangkap maknanya. Juga merupakan kebiasaan Max untuk menyisipkan renungan berisi pertanyaan di akhir tulisannya. Panduan renungan ini bisa jadi media untuk lebih mendalami poin-poin di dalam tulisannya. Tapi saya pribadi cenderung malas mendalami pertanyaan tersebut karena menurut saya terlalu banyak dan secara penempatan, aneh jika diletakkan di belakang tulisannya. Akan lebih baik jika pertanyaan tersebut disederhanakan dan diletakkan di bagian akhir tiap bab sehingga saat hendak membaca bab selanjutnya, pembaca dapat mengingat sejenak poin yang didapat dari bab sebelumnya.




Jakarta,  25 Januari 2016

Rabu, 20 Januari 2016

Matahari Tengah Malam (A Novel by Marga T)

Gambar 1. Cover Novel "Matahari Tengah Malam"
Cantik.. Itu bisa jadi keadaan fisik yang disadari banyak perempuan, tapi tidak bagi Zita.. Kalau di masa kini, banyak orang yang yakin akan keindahan rupanya sehingga banyak yang senang foto-foto sendiri (istilahnya: selfie), rasanya itu jauh dari keyakinan Zita. Zita yakin dia itu jelek, ga ada indah-indahnya, dan cuma orang di level yang sama yang bisa nyantol ama dia. Maksudnya, level yang melihat dia menarik mestinya ya yang otaknya agak miring, agak rendah gitu secara IQ. 

Elroi Pakasa, laki-laki yang dikagumi Zita dan menghadirkan cinta di hatinya, hanya singgah sebentar saja. Tanpa diduga, Zita menemukan fakta bahwa Elroi tak mencintainya dengan tulus dan mendekatinya untuk membuat kakak perempuannya, Amrita, cemburu. Amrita, lebih dikenal orang sebagai Daria, adalah artis kenamaan ibukota. Banyak aktivitas di dunia hiburan dan berbagai penghargaan yang didapatnya seakan mendaulat Amrita sebagai wanita cantik penuh prestasi.

Zita bukan Amrita. Zita sering merasa iri terhadap kecantikan kakaknya. Ia melarikan dirinya berkutat dengan pelajaran-pelajaran dan menyibukan diri dengan ilmu kedokteran yang dijalaninya. Setelah ia menamatkan studinya di Amerika Serikat, Zita diminta membantu bisnis hotel ayahnya, Pak C.P. Burai. Di saat-saat itulah, ia bertemu dengan Ken Pika, anak dari calon donatur yang diharapkan membantu bisnis tersebut. Ketika ia mulai melabuhkan lagi hatinya pada pria ini, ia menjadi sosok yang kembali mengecewakan Zita. Ken Pika malah melamar kakaknya, Amrita. 

Zita senang ikut tur dan menjelajahi berbagai daerah yang unik. Saya pernah membaca kutipan Paulo Coelho, kira-kira begini bunyinya, "Travel often. When you lost yourself, you get yourself." Pencarian ini rupanya dibutuhkan pula oleh Zita. Di buku ini diceritakan, ia pernah tur ke Machu Pichu, suatu kota yang berisi kebudayaan purba suku Inca di negara Peru. Selain itu, Zita diceritakan pernah ke Khyber Pass, suatu daerah yang menghubungkan Kabul dan Peshawar. Di Khyber Pass ini, ia bertemu Steve Caldwell, seorang sahabat yang menyamankan hati Zita, terutama setelah ia kembali ke Indonesia. Saat ia galau menghadapi pernikahan kakaknya dengan Ken, ia berniat "kabur" dengan mengikuti tur ke Skandinavia. Dan surpriseeenya adalah di tur ini ia bertemu dengan seorang Indonesia, yang menjadi rekan sejawat di tempat kerjanya. 

Awalnya, Zita berpikir pria ini orang iseng karena terus menagihnya uang pinjaman saat tur di Skandinavia. Namun, ia malah seorang yang menarik, berbeda dari teman-teman cowok Zita yang juga bekerja dan menjadi sejawat di tempat yang sama. Nama pria ini adalah Nuki Titus. Zita menangani "Penyakit Anak" dan Nuki di bidang "Kebidanan". Dua bidang ini bertempat di lantai yang sama, Klinik Sabara-Birka, yang berlokasi di Puncak. "Pucuk di cinta, ulam pun tiba".. Yah mungkin karena faktor area kerja yang berdekatan, keduanya pun sering berpapasan, terutama sering 'bertabrakan' saat sama-sama sedang berjalan cepat di area lorong klinik. Perjalanan romansa Zita-Nuki bagaimana, yah dinikmati sajalah dengan membaca bukunya langsung.

Di buku ini ada banyak istilah kedokteran, mungkin karena saya memiliki latar belakang farmasi, istilah ini tidak begitu baru, tapi tentunya ini menjadi hal yang memperkaya pemahaman pembaca akan dunia kedokteran. Lewat "Matahari Tengah Malam" ini, kita jadi mengetahui sulitnya menjadi dokter, yaitu diagnosa. Jika terjadi kesalahan diagnosa, pasien bukannya sembuh, malah bisa mengalami komplikasi yang lebih parah. Ada berbagai kasus pasien yang ditangani Zita secara mendalam. Penanganan dan anjuran untuk penyakit-penyakit dalam buku ini bisa jadi ilmu baru juga untuk keluarga terkasih. Ide cerita baik sekali, alurnya sederhana dan mudah diikuti. 

Secara penilaian rasa, saya kurang dapat greget indahnya romansa antara Zita dan Nuki. Mungkin Marga sensei terlalu menekankan pada Elroi sehingga porsi kedekatan Zita dan Elroi lebih dominan daripada Zita-Nuki. Yang saya maklumi dari kisah mereka adalah Nuki pribadi yang di luar ekspektasi Zita, tidak pernah dibayangkan untuk mampir di hatinya, malah seringnya bikin kesel, bukan deg-degan. Justru, emosi Zita dibuat campur aduk setiap berurusan dengan Nuki dan itu jadi turn point yang merubah perasaan benci jadi cinta (jatuh cinta amboi indahnya).. hehehe.. Mungkin karena novel lawas yah, jadinya beberapa perumpamaan saya nilai kurang bisa dimaknai sesuai tren saat ini (tahun 2016 gituh).. hehehe.. Juga ada beberapa kata yang tidak saya ketahui maknanya, seperti 'mengumpak'.. apa yah artinya, saya lupa teks lain yang mengiringinya.

Secara keseluruhan, buku "Matahari Tengah Malam" baik untuk dibaca penggemar novel-novel lawas. Yang ditawarkan Marga sensei adalah orisinalitasnya, di mana ia menulis dengan kreativitas yang didasarkan pengalamannya di dunia kedokteran. 


  
Jakarta, 21 Januari 2016


Minggu, 20 Desember 2015

N A D I R A ( A novel by Leila S. Chudori )

 Gambar 1. Cover Buku "Nadira" (edisi pembaharuan dari "9 dari Nadira")

Nadira adalah judul sebuah novel yang baru saya ketahui keberadaannya pada 5 Desember 2015 lalu. Oleh karena seorang teman yang aktif dalam even Goodreads Indonesia menyebutkan nama seorang pengarang asal Indonesia yang baru pertama kali saya dengar, saya tertarik untuk mencari tahu tentang pengarang tersebut. Saya tidak tahu apakah dia sungguh mengagumi pengarang tersebut karena telah membaca buku-bukunya atau mungkin karena kesenangannya membaca sehingga dia memiliki informasi yang banyak yang tersiar dalam website Goodreads Indonesia. Entahlah, tapi saya bersyukur dia mau mensharingkan informasi tentang pengarang tersebut melalui media sosial sehingga saya pun tahu tentang pengarang tersebut dan karyanya.

Gambar 2. Saya dan Bu Leila di even Festival Pembaca Indonesia, Goodreads 2015(kiri ke kanan)
Perempuan itu bernama Leila S. Chudori. Saya menjumpainya di Festival Pembaca Indonesia yang diselenggarakan di Synthesis Square, Gatot Subroto. Oleh karena sebelumnya telah searching di google (hehe) , saya pun tahu wajah perempuan itu. Dan aslinya jauh lebih cantik daripada yang saya lihat di google. Agak nekat sih, tapi karena ada dorongan dalam hati untuk bisa mengenal sosok wanita ini, saya pun memberanikan diri untuk mendekatinya bahkan minta foto bersamanya! Hahaha.. Kalau dipikir secara nalar, tindakan ini agak nonsense mengingat bahkan saya belum baca bukunya! Haha.. Tindakan ini agaknya masuk ke kategori aneh bin ajaib. Ajaibnya adalah saya tidak menyesal! Haha.. Saya pernah mendengar bahwa orang normal sulit untuk mencapai kesuksesan, dan umumnya harus sedikit mungkin cukup gila untuk menjadi sukses. Memang berdasarkan pengalaman saya, saya sempat mengalami hal-hal yang belum sepatutnya saya lakukan karena belum waktunya, tapi toh saya lakukan itu dengan nekat. Jadi, hal ini bukan masalah besar toh. Kembali ke keajaiban itu, saya tidak menyesal karena ternyata memang beliau adalah sosok pengarang yang menghasilkan karya brilian.

Awalnya dikenal banyak orang sebagai "9 dari Nadira", namun yang saya dapati dari Gramedia Grand Indonesia adalah "Nadira". Beda keduanya adalah "9 dari Nadira" tampaknya memuat 9 bab cerita pendek terkait sosok Nadira, dan "Nadira" adalah penyempurnaan kisah "9 dari Nadira" yang telah ditambahkan 2 bab baru, yaitu " Sebelum Matahari Mengetuk Pagi" dan "Dari New York ke Legian". Nadira, seperti wanita pada umumnya, juga berjuang dalam kehidupannya di dunia kerjanya, keluarganya, dan hubungannya dengan pria di sekitarnya. Nadira lahir dan besar dalam asuhan keluarga yang penuh kasih sayang dari kedua orang tuanya, namun juga seperti keluarga lainnya yang tidak bebas konflik, Nadira memiliki pergumulan batin dengan saudara sekandungnya, Yu Nina. Klimaks berada di awal cerita, yaitu kisah kematian ibu kandungnya, Kemala Suwandi. Hingga akhir bab dalam novel Nadira ini, tak dipaparkan secara pasti penyebab bunuh diri yang dilakukan ibu Nadira. Nadira pun sejak saat ia menemukan ibunya tergeletak di lantai kamar tidurnya dalam keadaan tubuh biru dan mulut berbusa karena telah menelan pil tidur hingga bertahun-tahun kemudian masih menyimpan rasa ingin tahu apa dasar keputusan ibunya untuk menghabiskan nyawanya, untuk bertemu Tuhannya di hari itu.

Ayah Nadira adalah seorang wartawan senior yang mengenal ibu Nadira semasa mereka sama-sama berkuliah di Amsterdam, Belanda. Perbedaan latar belakang ayah Nadira, Bramantyo Suwandi, yang merupakan anak kyai yang dididik dalam pendidikan Islam NU dengan Kemala, yang merupakan putri Abdi Yunus, seorang konglomerat tanpa kewajiban salat 5 waktu dalam hari-harinya tak menjadi penghalang bagi percintaan mereka. Mereka dikaruniai 3 orang anak, yaitu Nina, Arya, dan Nadira. Nina adalah sosok kakak yang bertanggung jawab, bahkan merasa harus diakui pertanggung jawabannya itu oleh orang tuanya dan begitu ekspresif dibandingkan kedua adiknya. Arya adalah seorang yang perhatian pada kakak dan adiknya, walau pada masa kecilnya begitu nakal dan sering membuat Yu Nina marah. Nadira adalah bungsu yang mewarisi kecintaan ayahnya pada dunia jurnalistik. Pada masa kecilnya, ia sudah menghasilkan uang dari hobinya membuat cerpen. Dan di masa dewasanya, ia bekerja sebagai wartawan di majalah "Tera" dan menangani rubrik "Politik, Hukum, dan Kriminalitas".

Konflik antara Nina dan Nadira sesungguhnya bukan masalah besar karena pada dasarnya hubungan kakak adik yang akrab pun sering diisi perselisihan karena perbedaan pendapat. Namun, pada kasus Nadira-Nina, agaknya ini bermula dari kecemburuan Nina kecil terhadap kasih dan pengakuan Bram terhadap talenta Nadira dalam menulis cerpen yang diterbitkan dalam majalah dan koran, bahkan Bram membingkai karya Nadira tersebut. Nadira bukanlah sosok pendendam terhadap sikap Nina di masa lalu yang pernah dengan teganya menghancurkan bingkai-bingkai cerpennya melalui petasan yang dipersalahkan kepada Arya, namun ia masih menyimpan kemarahan atas perbuatan Nina. Hingga pada usia dewasanya, Nina menjalani sesi konseling dan melakukan terapi emosi bersama psikiater untuk membereskan problem masa lalunya yang belum dituntaskan kepada Nadira. Namun, seiring berjalannya waktu, kunci hubungan Nina-Nadira ini perlahan mulai ditemukan justru setelah Nina melalui masa sulit dalam pemulihannya dari situasi pascaperceraian yang dialaminya dengan Gilang Sukma, sang koreografer handal perayu dan penikmat hubungan bebas itu.

Dunia Nadira berwarna kelabu. Sosok Utara Bayu, sang pimpinan wartawan majalah "Tera" yang secara langsung maupun tak langsung terus mendukung Nadira, tampaknya tidak cukup persuasif untuk mengajak Nadira bangkit dari lubang kubur yang didiaminya. Ya, lubang kubur, itulah istilah tempat Nadira berada sekarang. Dia hidup namun bukan di tengah dunia yang membuatnya hidup. Dia tidak mati, namun hati dan tubuhnya merasa terhimpit batu besar yang menekannya untuk mendiami lubang kubur imaginasinya. Ia menikmati betul ruang kosong, gelap, dan sempit di kolong mejanya. Hingga teman sekantornya menyebutnya "penjaga kolong Tera". Namun, warna kelabu ini berganti menjadi merah jambu ketika ia mengenal Niko Yuliar, seorang aktivis pada zaman perkuliahannya semasa menjadi mahasiswa, yang kini menjadi seorang konsultan permasalahan politik dan ekonomi. Niko adalah seorang pecinta karya sastra sebagaimana Nadira dan Utara Bayu. Ini adalah kutipan Sajak Ibunda dari WS Rendra yang dibacakannya untuk Nadira dan seketika mengubah warna kelabu di hidup Nadira menjadi merah jambu.

"Mengingat ibu,
aku melihat janji baik kehidupan.
Mendengar suara ibu,
aku percaya kebaikan hati manusia.
Melihat foto ibu,
aku mewarisi naluri kejadian alam semesta..."

Tak cukup hanya cinta, kira-kira itulah gambaran mengapa Nadira pun akhirnya meminta bercerai dari Niko. Niko yang memiliki affair dengan beberapa perempuan, bahkan perempuan yang sudah menikah, dan terjadinya setelah mereka berumah tangga, cukup menjadi alasan Nadira untuk meminta pisah. Ya, mereka saling mencintai namun cinta tersebut tak cukup mampu membendung ego yang menguasai diri mereka masing-masing. Nadira dikaruniai Jodi, anak dari hubungannya dengan Niko. Setelah perceraian ini, ia menjalani cuti sabatikal dengan meminta izin Utara Bayu. Awalnya Tara hanya mengizinkan setahun, namun karena Nadira memaksa, ia mengizinkan Nadira menjalani sesuai kehendaknya. Tara agaknya merupakan perwujudan pria masa kini, yang asyik dengan kehidupan kerjanya dan tidak ngoyo dengan urusan asmaranya. Ia tidak cuek, namun perhatian yang dicurahkannya pada Nadira belum cukup mampu untuk menggetarkan dan menggerakkan Nadira untuk meruntuhkan hati gunung esnya. Hingga pada akhirnya, Nina menyadarkan Nadira akan betapa besarnya kasih yang ditujukan bagi Nadira, Nadira tergugah untuk menyelesaikan urusannya yang masih belum selesai dengan Tara. Terlambat memang karena Tara telah mengikat janji dengan Kara Novena, seorang senior wartawan di Tera yang begitu mencintainya namun hingga akhir kisah Nadira, ia tidak mendapatkan hati Tara walaupun Tara sendiri menjanjikannya.

Di penghujung novel ini, bab At Pedder Bay, Nadira menjalani hubungan lamanya yang pernah terurai dengan Marc Gillard, temannya di kampus Victoria, Kanada, sejak 19 tahun silam. Bahkan ia dipertemukan dengan Rick Vaughn, seorang kawan lama yang mengaguminya di kampus yang sama. Dan kisah ini masih akan berlanjut, demikian dijanjikan Bu Leila di akhir pengantarnya. Bahkan akan ada "Catatan Harian Kemala Suwandi", mungkin suatu hari nanti.

Penilaian saya untuk Nadira adalah two thumbs up! Kalau secara rating bintang, saya berikan 4 dari 5 bintang. Alasannya, saya mengharapkan Utara Bayu dapat menjangkau hati Nadira. Yes, I hope for that, Bu Leila.. Terlepas dari kisah cinta yang tak sampai, Nadira sendiri mengajarkan pada saya bahwa seorang perempuan, yang konon adalah makhluk yang halus perasaannya, memiliki kekuatan yang luar biasa. Pada cerita lengkapnya, akan bisa dibandingkan bagaimana cara Nina, Arya, dan Nadira menghadapi duka akibat ditinggal ibunda yang mereka kasihi. Saat Nina memilih kabur melanjutkan S2 atau S3 nya di New York, Arya memilih kabur untuk memperhatikan kehidupan hutan Indonesia, Nadira secara apa adanya menghadapi dukanya dengan bekerja dan mengurus ayahnya, yang juga berduka akibat ditinggal istrinya itu. Berdasarkan apa yang saya alami sendiri, mengurus orang lain ketika kita sendiri tak bisa mengurus diri sendiri dengan benar adalah sangat sulit. Meskipun manusiawi bagi Nadira untuk meluapkan perasaannya dengan bersembunyi di kolong mejanya, itu tidak menjadi kelemahannya. Itu adalah cara Nadira untuk menghadapi dukanya, tak peduli dengan gunjingan burung-burung nazar di kantornya. Menurut saya, Nadira adalah sosok yang nyentrik, ia berupaya menjadi dirinya sendiri saat ia menghadapi duka di tengah kecintaannya akan profesinya dan kehadirannya di tengah komunitasnya. Kekurangan dari novel ini adalah ada teknis redaksional di satu bagian. Secara alur, tulisan dibuat dengan alur maju dan mundur sehingga cukup membuat nalar bekerja untuk menyusun urutan peristiwa yang diurai dalam keseluruhan bab buku ini. Tapi secara keseluruhan, buku ini sangat layak untuk dinikmati.



Jakarta, 20 Desember 2015

Minggu, 06 Desember 2015

Sesuatu itu adalah kamu

yayaya... saya memang lebih sering mikir ketimbang nulis.. dan pada akhirnya sekarang sampai pada suatu titik dimana jiwa saya sendiri meminta kepada tubuh saya, "Wahai tangan tulislah sesuatu".. "Wahai tangan dan otak, bekerjasamalah untuk menghasilkan suatu karya".. Blog ini telah saya buat sejak 25 November 2011 namun ini adalah postingan pertama saya (gak tahu harus bahagia atau sedih :') )

dan inilah pada satu titik dimana separuh jiwa saya akan melayang karena telah saya putuskan untuk resign.. resign dari pekerjaan yang menafkahi saya selama 2,5 tahun tepat di akhir tahun ini.. ada suatu perasaan gamang, suatu kekhawatiran akan masa depan, dalam hal materi, nilai hidup, dan pada akhirnya penilaian orang sekitar.. ketika ada seorang teman yang konon katanya sekarang sudah menjadi manager, berkacalah saya melihat bayangan diri yang masih kelabu.. tapi memang tidak bisa saya paksakan untuk terus bekerja jika cita-cita hidup yang menjadi alasan untuk bertahan hingga saat ini ternyata tidak saya temukan di tempat kerja tersebut.. tak dapat ya tak dapat.. saya heran melihat mereka yang begitu lelet untuk memutuskan berangkat makan siang karena tanggung akan pekerjaannya.. namun saya lebih heran lagi melihat diri saya masih di depan layar komputer untuk mengevaluasi dokumen dan mengurusi beberapa problem di atas meja kerja saya.. ya saya heran.. mengapa kami menjadi budak waktu? mengapa aku tak dapat menikmati waktu kehidupanku yang bagaikan uap air ini (ada lalu lenyap tak berbekas)? dan aku putuskan, kalaupun aku harus gila dengan waktu, itu adalah untuk melakukan sesuatu yang aku cintai, sesuatu yang tak perlu kukhawatirkan akan terjadi kesalahan, sesuatu yang bisa kulakukan kapan kusuka untuk melakukannya, dan sesuatu itu adalah berpikir dan menulis..