Di beberapa waktu yang lalu, sudah sangat lama, saya tidak ingat persisnya kapan, saya sempat bersaat teduh (saat teduh adalah renungan akan Firman Tuhan) dengan menggunakan buku Renungan Harian. Isi renungan tersebut membekas betul dalam hati saya karena pertama kalinya saya diajak untuk melihat satu kisah dalam alkitab dalam sudut pandang yang baru.
Firmannya terambil dari Lukas 24:13-35 (Yesus menampakkan diri di jalan ke Emaus). Pada pagi hari itu Yesus telah bangkit dan di penghujung hari itu dua dari murid Yesus tengah dalam perjalanan meninggalkan Yerusalem untuk menuju ke Emaus. Di tengah perjalanan mereka sebenarnya menjumpai Yesus, namun di sini disebutkan bahwa "ada sesuatu yang menghalangi mata mereka sehingga mereka tidak dapat mengenal Dia. (Lukas 24:16)"
Lebih lanjut kedua murid itu banyak bercakap dengan Dia di dalam perjalanan termasuk pertanyaan dalam benak para murid mengenai apa yang dialami Tuhan Yesus yang sejatinya tidak dapat mereka pahami pada saat itu. Dalam perjalanan itu Tuhan Yesus menjawab pertanyaan yang timbul bahkan mengajarkan tentang hukum-hukum Taurat.
Menjelang malam mereka sudah mendekati kampung yang ditujunya dan Tuhan Yesus seolah hendak berpisah namun kedua murid mengajak-Nya untuk tetap bersama sampai malam itu. Dan ketika mereka santap malam bersama dimana Tuhan Yesus memecah roti dan mengucap syukur barulah mata mereka terbuka bahwa dia adalah Dia yang mereka kasihi.
Di dalam renungannya, penulis membukakan bahwa malam itu merupakan malam yang penuh gairah (a passionate night) bagi kedua murid. Hal ini bisa dilihat sendiri dari pengakuan salah satu murid, "Bukankah hati kita berkobar-kobar, ketika Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan ketika Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita? (Lukas 24:32)"
Berkobarnya hati para murid tidak berhenti sampai di sini. Segera setelah mereka menyadari kehadiran Tuhan Yesus ini, mereka langsung bangun dan terus kembali ke Yerusalem untuk memberitahukan murid-murid yang lain. Saya diberitahukan dalam suatu kotbah bahwa sesungguhnya perjalanan murid-murid ini bukanlah perjalanan singkat. Awal mula perjalanan mereka adalah dari Yerusalem, tempat murid-murid yang lain berada. Perjalanan ke tujuan mereka pun dicapai setelah lewat satu hari perjalanan.
Setelah kebangkitan-Nya Tuhan Yesus memilih untuk menampakkan diri-Nya kepada beberapa orang, termasuk kedua murid ini. Ia melayani kedua murid ini secara pribadi. Ia menjawab pergumulan termasuk kebingungan dan kekecewaan yang ada dalam benak para murid tentang sosok mesias yang mereka yakini dalam diri Yesus. Bagi orang Yahudi semestinya mesias itu tidak akan mati dengan cara yang mengenaskan seperti yang dialami Tuhan Yesus.
Tuhan Yesus tidak meninggalkan murid-Nya dalam ketidakpastian. Karena itulah, Ia layani mereka pribadi lepas pribadi. Di bagian lainnya dalam alkitab, dapat dijumpai Ia yang kembali melayani Simon Petrus untuk memintanya menggembalakan domba-domba-Nya. Ia juga jumpai Tomas yang masih tidak percaya sampai ia mencucukkan sendiri tangannya ke dalam bekas paku di tangan Yesus.
Pesan Tuhan Yesus teramat jelas. Ia menyatakan bahwa adalah baik bagi Dia untuk pergi meningggalkan mereka karena pada waktunya nanti, seorang Penolong yaitu roh kudus (paracletos) akan datang dan memampukan para murid untuk pergi dan menjadikan seluruh bangsa murid-Nya.
Kembali ke renungan yang pernah saya baca itu. Saya diajak merenungkan kapan terakhir kali saya mengalami perasaan yang bergelora dalam relasi dengan Tuhan Yesus? Hmm.. Saya tidak ingat seperti apa pengalaman yang saya rasakan dalam hubungan dengan Tuhan Yesus waktu itu.
Beberapa waktu yang lalu, sekitar akhir tahun 2015, saya sempat rindu sekali akan hubungan yang intim dengan Tuhan Yesus seperti yang pernah saya alami saat di kampus dulu. Setelah lulus kuliah dan bekerja di sebuah perusahaan besar, saya merasa tidak sanggup mengatur waktu, baik untuk saat teduh di pagi hari dan berdoa secara teratur. Sekarang hal ini bukan masalah lagi karena saya sudah resign dari tempat kerja tersebut dan masih mencari pekerjaan yang sesuai dengan talenta saya.
If both of them (the Jesus' disciples) had a passionate night with Jesus, so did I. Bedanya, pada kisah kedua murid, mereka dilayani secara langsung oleh Tuhan Yesus. Pada kisah saya, saya percaya Tuhan Yesus melayani papa saya melalui saya.
Sejak papa saya tinggal terpisah dari rumah kami oleh karena proses perawatan yang dijalaninya, saya merasa agak jauh dari papa saya. Pada satu titik, Tuhan tegur saya di dalam satu renungan saat kebaktian minggu. Semakin ke sini teguran ini semakin jelas. Tuhan Yesus mau saya bermisi bagi keluarga saya.
Saya lupa persisnya tanggal berapa, di minggu pertama Februari itu saya berencana mengembalikan kursi roda yang sempat dipinjam dari gereja oleh tante saya. Kursi roda itu sempat dipakai sama papa saya dalam perjalanan ke rumah sakit. Sorenya saya sempat nge-gym dan malamnya saya merencanakan berkunjung ke rumah tempat papa tinggal untuk membersihkan kursi roda yang sudah lama tak digunakan tersebut.
Saat saya membersihkan kursi roda, papa saya menemani saya dan mengajak bicara tentang beberapa hal. Memang papa tipe orang yang senang ngobrol. Saya menangkap bahwa dalam masa-masa istirahatnya di rumah itu, papa merasa ingin berfoto keluarga bersama kami (mama, saya, dan adik laki-laki saya). Ini bukan keinginan biasa karena sebelumnya papa saya tidak terlalu suka akan foto dan tidak menganggap itu penting. Wajar sih karena cowok mungkin bawaannya cuek.
Hingga di satu titik, saya merasa waktu tersebut adalah kesempatan berbicara mengenai Tuhan Yesus. Keinginan tersebut timbul secara tiba-tiba dan saya berencana tidak bicara secara blak-blakan tetapi dengan strategi. Saya mulai menanyakan bagaimana perasaannya setelah sembuh dari kecelakaan. Pengertian sembuh di sini adalah kondisi yang lebih baik dari sebelumnya.
Sebelumnya kondisi papa benar-benar menyedihkan. Dagingnya sobek dan saya terpikir papa butuh banyak protein. Nafsu makannya pun hilang. Di minggu pertama papa dibawa ke rumah sakit, saya terpikir membelikan steak sapi kesukaannya yang suka dimakan bersama nasi (kebiasaan ini memang aneh hehe) di Joni Steak Pasar Baru.
Sesudah memesan salah satu menu, saya melipir sebentar ke Sevel karena tidak mendapat tempat duduk di Joni yang sedang sangat ramai. Malam itu, saat duduk di bangku Sevel, saya merenung dan merasa sangat sedih. Kalau dipikir-pikir saat it was the lowest point and the saddest moment in my life. Saat bekerja di kantor pun, saya terus teringat akan kondisinya.
Jawabannya papa saat itu tidak begitu jelas. Saya lihat memang papa saya bukan tipe yang senang mengekspresikan syukur secara spontan. Lalu saat saya tanyakan apakah papa saya mau bergereja di hari minggu, jawabannya adalah yes. I'm absolutely happy. Keluarga kami tidak seperti keluarga kristen lainnya yang senang dan aktif bergereja. Akan panjang jika saya ceritakan di sini. Tapi menurut saya, latar belakang dari semua ini bermula dari keluarga mereka yang tidak mendidik secara kristen.
Pola asuh kristen sangat mempengaruhi pertumbuhan iman seseorang. Walaupun mereka tidak secara intensif mencontohkan hidup kristen dalam hidup saya, saya bersyukur Tuhan Yesus bekerja dalam banyak cara untuk memanggil saya menjadi anak-Nya.
Sesungguhnya, sangat berat bagi saya untuk berbicara tentang Tuhan Yesus kepada papa saya. I'm still working on that. Papa adalah sosok dominan di keluarga. Topik Tuhan Yesus bukanlah topik favorit yang mudah untuk diperbincangkan. Karena itulah tidak banyak yang kami percakapkan dalam hal iman. Namun pada malam itu saya merasa saya harus mengajak papa untuk berdoa. Awalnya berat dan terasa aneh tapi akhirnya saya mengajaknya berdoa.
Semua orang bertanya apa tujuan hidup manusia. Dalam buku "Purpose Driven Life", Rick Warren menjelaskan ada 5 tujuan hidup manusia, yaitu penyembahan kepada Allah, persekutuan dengan sesama Kristen, pemuridan untuk menjadi serupa dengan Tuhan Yesus, pelayanan kepada sesama anggota tubuh Kristus, dan penginjilan kepada orang yang belum mengenal Kristus.
Dari semua tujuan yang Rick Warren paparkan, saya masih belum tuntas di tujuan kelima yaitu penginjilan (bermisi). Dulu saat masih aktif di pelayanan kampus, saya sempat diajak mengikuti training misi. Saat itu saya senang dengan konsepnya dan melihat bermisi sebagai hal yang baik. Dalam persekutuan kampus kami pun seakan diajak untuk memiliki hati yang peka bagi jiwa-jiwa yang belum mengenal keselamatan.
Beberapa waktu yang lalu, saya mendengar siaran kotbah seorang pendeta favorit saya, Pdt. Yakub Susabda melalui youtube, judulnya "Ladang Misi yang Tersembunyi". Ini judul yang sangat menarik bagi saya. Saya tahu ini akan dibawa ke misi injil. Seperti biasanya, kotbah Pak Yakub mengguncang nurani saya.
Yang jadi penekanan Pak Yakub adalah sebelum gereja fokus mengirim jemaatnya bermisi ke luar kota bahkan luar negri, jangan melupakan bagaimana kondisi keluarganya dan kerohaniannya. Kalau orang tersebut tidak punya keluarga yang baik, bagaimana mungkin ia akan punya hati yang peka dan menangis untuk jiwa-jiwa yang berjalan menuju kebinasaan?
Kerohanian yang dimaksud adalah pengenalan akan kebenaran Firman Tuhan. Akan sangat berbahaya jika misi dilakukan untuk sekadar pengembangan agama sebagaimana procelitism yang dialami orang Yahudi di zaman Tuhan Yesus. Mereka terjebak untuk mengagungkan agamanya tetapi kehendak Tuhan tidak mereka utamakan.
Di titik inilah saya menyadari penyebab saya masih belum membawa jiwa satu demi satu bagi Tuhan. Ya, penyebabnya adalah saya belum berdamai dan membawa jiwa keluarga saya terlebih dahulu.
Jika melihat tujuan hidup yang dipaparkan Rick Warren kok rasanya sempurna banget gitu yah? Apa ada yang bisa melakukan semua itu? Dalam salah satu kotbahnya, Pak Yakub menyatakan hal ini bisa dilakukan. Yesus menjanjikan adanya penolong yang lain/paracletos (Yohanes 14: 15-31). Jadi jika seseorang sudah lahir baru di dalam Roh Kudus Allah, ia memiliki roh yang penuh kuasa tersebut untuk menyenangkan Allah.
Saya pun menyadari saya ini cuma butiran debu. Ketika mengingat seperti apa hidup saya dahulu sebelum kenal Kristus, saya jijik dengan semua itu. Semuanya adalah hina dan sia-sia di dalam pengetahuan akan terang kasih Kristus.
Di salah satu bagian dalam bukunya, Rick Warren mengingatkan tubuh kita sendiri adalah persembahan yang hidup bagi Allah. Setiap saat persembahan bisa merangkak dari atas mezbah. Karena itu, setiap hari kita perlu datang mengakui keberdosaan kita dan membawa persembahan hidup kita kepada-Nya.
Rick Warren juga memberi tips untuk memiliki hati yang bermisi. Saat kita berhadapan dengan orang baru maupun orang yang sering kita jumpai, bisikkan dalam hati kita, "Apa yang dapat saya lakukan serta doakan untuk orang ini?" Saya percaya kerinduan untuk punya hati yang penuh belas kasihan tidak hanya ada dalam hati saya. Kalau Tuhan bisa bekerja dalam hati saya yang kotor ini tentu alangkah dahsyatnya karya-Nya dalam hati seluruh anak-Nya.
Di satu titik dalam hidup saya, saya pernah mempertanyakan untuk apa lagi saya hidup karena saya sudah tidak punya passion. Gairah dalam diri saya sudah mati. Saya merasa sudah cukup dan merasa alangkah indahnya jika bisa bersatu dengan Tuhan Yesus dalam kemuliaan-Nya. Kembali saya mengingat renungan di kebaktian minggu waktu itu, kembali mengingat teguran Tuhan atas misi yang belum saya tuntaskan. Ya, saat ini saya masih harus terus hidup untuk bermisi bagi Allah. Dimulai dari keluarga saya dan pelan-pelan bagi orang-orang lain yang Tuhan hadirkan dalam kehidupan saya.
Jakarta, 16 Maret 2016